Feature Top (Full Width)

Rabu, 20 November 2013

Pelopor



Pelopor

“Seorang pelopor akan selalu lebih mulia meski generasi setelahnya melakukan dengan lebih baik.”
Seorang bayi kecil lahir di Tunisia pada awal Ramadhan tahun 732 H, atau pada 27 Mei tahun 1333. Tempat lahirnya itu masih ada hingga sekarang, yaitu sebuah rumah yang kini menjadi pusat sekolah Idarah ‘Ulya. Di pintu masuknya terpampang jelas nama dan tanggal kelahiran bayi kecil yang disebut sebagai pelopor ilmu sosiologi dari kalangan muslim tatkala dewasa. Nama lengkapnya Abdurrahman Abu Zaid Waliuddin bin Khaldun atau yang populer dikenal dengan sebutan Ibnu Khaldun.

Keterangan di atas saya peroleh dari Dr. Ali Abdul Wahid Wafi dalam bukunya Abdurrahman bin Khaldun. Penjelasannya yang lebar dan kaya makna mengajari saya bahwa ilmuwan muslim punya peran besar dalam perkembangan ilmu-ilmu yang kita dapati hari ini. Meski banyak perkembangan dan pengayaan yang terkait dengan ilmu-ilmu yang mereka pelopori, mereka tetaplah mulia karena dari goresan pertama mereka-lah apa yang kita saksikan saat ini bermulai. Seorang penyair arab pernah bersenandung, “seorang pelopor akan selalu lebih mulia meski generasi setelahnya melakukan dengan lebih baik”.

Lalu, apa yang menjadi kunci kejeniusian muslim-muslim seperti Ibnu Khaldun yang berdiri sebagai pelopor ilmu-ilmu pengetahuan? Hemat saya, jawabannya tidaklah jauh dari tiga; ilmu, amal dan alam.

Dengan ilmu seseorang menyibak apa yang terkungkung, menguak apa yang tersembunyi dan membuka apa yang tertutup. Ilmu bagaikan parasut bagai seorang penerjun yang memberi selamat bagi pembukanya dan kematian bagi yang tak mau menggunakannya. Tak ada kebahagiaan tanpa ilmu yang mendasarinya. Rasul menasihati kita dengan bait sabdanya; Barangsiapa yang ingin bahagia di dunia, pelajarilah ilmunya. Barangsiapa yang ingin bahagia di akhirat, pelajari juga ilmunya. Barangsiapa yang ingin bahagia dunia dan akhirat, pelajari jugalah ilmunya.

Lalu bagaimana dengan ‘amal’? Inilah aksi dari ilmu yang dimiliki. Inilah kelanjutan dari apa yang didiskusikan. Ilmu tanpa amal itu sia-sia, amal tanpa ilmu bagaikan orang buta. Pepatah lama itu menjadi gambaran yang pas mengenai keterkaitan antar keduanya.

Nah, alam-lah yang kemudian menjadi tempat bersumbernya ilmu dan bermuaranya amal. Ilmu dapat kita peroleh dari alam, manfaatnya pun harus kita kembalikan ke alam dalam wujudnya berupa amal. Ilmu, amal dan alam seiya-sekata, berpadu dalam satu tujuan yang sama, li i’lai kalimatillah, meninggikan kalimat-kalimat Allah swt.

Itulah kunci para pelopor. Tak hanya menyampaikan pesan kosong, mereka mengisi diri terlebih dahulu dengan ilmu. Tak hanya mengisi, mereka membuktikannya dengan amal. Tak berhenti pada kebermanfaatan diri sendiri, mereka menebar manfaat di seluruh alam. Para pelopor adalah orang-orang terbaik yang disinyalir Rasul dalam sabdanya, manusia terbaik adalah yang paling banyak manfaatnya.

Lantas, bagaimana dengan keberadaan kita saat ini? Apakah kita telah memberikan kontribusi yang meskipun kecil tapi dapat dikatakan memelopori sesuatu yang besar? Atau kita hanya sembunyi pada ungkapan “saya ini apalah, hanya manusia biasa” sebagai pembenar dari sikap-sikap malas kita selama ini? Berdalih dengan waktu, beralasan dengan kesempatan. Sepertinya itu yang lebih sering kita lakukan.

Lebih baik berterus terang untuk memperbaiki ketimbang menutup muka dalam kebodohan yang tak ada baiknya. Harus kita akui, generasi saat ini, jauh panggang dari api, bermuara kemana bersumber pun tak jelas asalnya. Padahal, minimal, tugas kita adalah memperbaiki, melengkapi dan menyempurnakan apa yang telah dimulai oleh pelopor-pelopor yang telah hidup sebelum kita. Pertanyaannya; sudahkah itu kita lakukan?

“Terlambat lebih baik ketimbang tidak sama sekali”, barangkali perkataan itu cukup untuk menghibur kita yang telah lupa. Tak ada alasan untuk menunda. Sudah tiba saatnya, sudah sampai waktunya. Kapan lagi kalau bukan sekarang dan saat ini juga. Kalau tidak jadi pelopor, jadilah penerus yang memperbaiki, melengkapi dan menyempurnakan. Jangan cuma jadi ‘kompor’ yang ngomong di sana dan di sini tapi sejatinya membakar sumbu yang sebenarnya adalah diri sendiri. 

Semoga kita dapat berkontemplasi dengan ini. (Pimred)

0 komentar:

Posting Komentar

 
Template designed by Liza Burhan