Al-Qur’an Sebagai Sumber Peradaban Islam
H. Qosim Nurseha, Lc., MA
(Pengajar Tafsir di Pesantren Ar-Raudlatul
Hasanah. Penulis buku Inspiring Al-Qur’an)
“Al-Qur’an
adalah Kitab yang mengutamakan amal daripada cita-cita”
―Muhammad Iqbal[1]
Al-Qur’an merupakan sumber otentik bagi peradaban Islam (al-tamaddun
al-islāmī) di samping Sunnah Rasulillah Saw. Karena Al-Qur’an diyakini
sebagai sumber petunjuk (hidāyah) bagi manusia ke arah kehidupan yang
terbaik selama di dunia hingga akhirat kelak.[2]
Tentang ini, Helmut Gatje menyatakan dengan sangat lugas, “The collection of
divine revelations in the Qur’ān serves Muslim as the primary source for their
religious doctrines.”[3]
Dalam bahasa Sayyid Quṭb, Islam itu adalah manhaj li al-basyar (petunjuk
pandangan hidup bagi manusia).[4]
Artinya, Al-Qur’an
menjadi “inspirasi” apapun bagi umat Islam, terutama dalam hal berkemajuan dan
berperadaban. Karena ia merupakan sumber utama (primary source) bagi
ajaran Islam. Namun tentunya akan muncul sebuah pertanyaan: Jika Al-Qur’an
menjadi “inspirasi” bagi peradaban Islam, sisi mananya yang menjadi bukti kuat
bahwa ia benar-benar menjadi dasar untuk itu?
Sejak turunnya wahyu pertama, Iqra’,
Allah sejatinya telah menegaskan bahwa Islam adalah agama ilmu pengetahuan. Itu sebabnya sejak awal turunnya wahyu kepada Rasulillah Saw. Allah
telah menyebutkan media ilmu pengetahuan yang paling ampun: membaca. Setelah
membaca kemudian Allah menyebutkan kata ‘ilmu’ dan pena (al-qalam).[5]
Setelah perintah
membaca itu, wahyu yang kemudian turun adalah perintah untuk beramal (bekerja
dan beraktivitas) dalam surah al-Muddatstsir.[6]
Amal atau aktivitas dalam surah ini menyangkut: (1) dengan manusia (qum
fa’andir); (2) dengan Tuhan (wa Rabbaka fakabbir); dan (3) dengan
diri sendiri (wa tsiyābaka faṭahhir). Selain itu, aktivitas (amal) itu
juga bisa berkaitan dengan sikap melakukan sesuatu – seperti tiga hal tersebut
di atas – atau meninggalkan hal itu, seperti: wa al-rujza fahjur (dan
maksiat tinggalkanlah) dan walā tamnun tastaktsir (janganlah engkau
memberi agar mendapat balasan lebih besar). Kemudian puncak dari itu semua
adalah sabar (al-ṣabr) karena Allah: wa li Rabbika faṣbir.
Dari sana kita
menjadi paham bahwa ilmu didahulukan daripada amal. Karena ilmu lah yang dapat
memperbaiki amal dan memberi petunjuk kepada syarat-syarat amal dan
rukun-rukunnya.[7]
Menurut Syekh ‘Abd
al-Ḥalīm Maḥmūd, salah seorang mantan Grand Sheikh Al-Azhar University, materi
pertama dari undang-undang Islam adalah Iqra’. Ini merupakan perintah
membaca yang merupakan media terpenting untuk mendulang ilmu pengetahuan. Jadi,
sejak awal kelahirannya Islam sudah membawa identitas ilmu.[8]
Ayat-ayat yang ada
dalam Qs. 96: 1-5 menyebutkan beberapa hal penting: perintah membaca sebanyak
dua kali dan menyebut materi ilmu sebanyak tiga kali. Ayat-ayat yang turun
setelah itu dimulai dengan salah satu huruf Hijā’iyyah, yaitu ((ن)), yang mengandung sumpah Allah yang pertama yang terdapat di
dalam Al-Qur’an. Dan sumpah itu “atas nama pena”: ن. وَالْقَلَمِ وَمَا يَسْطُرُوْنَ (Nūn. Demi pena dan apa yang mereka tulis).[9]
Setelah itu, secara berturut-turut turun ayat-ayat Al-Qur’an yang berbicara
tentang keutamaan ilmu, perintah untuk menuntut ilmu (al-ta‘allum), dan
pemuliaan terhadap para ulamā’. Bahkan Allah Swt. memerintahkan Rasulallah Saw.
agar menghadap Allah dengan penuh ketundukan hati dan memohon kepada-Nya agar
ditambahi ilmu pengetahuan.[10]
Menegaskan kembali
rahasia yang terkandung dalam Qs. 96: 1-5, al-Syahīd Sayyid Quṭb dalam Fī
Ẓilāl al-Qur’ān menyebutkan bahwa Firman Allah ini menerangkan hakikat
pengajaran (al-ta‘līm): pengajaran sang Rabb kepada manusia yang
dilakukan dengan “pena”. Karena pena merupakan alat yang paling luas dan paling
dalam pengaruhnya dalam pengajaran di dalam kehidupan manusia. Allah di sini
tengah mengajarkan “harga” sebuah pena. Dan hakikat ini Dia tunjukkan di langkah
pertama dari perjalanan risālah terakhir (Islam) kepada manusia. Diturunkan
pula hakikat ini di awal surah Al-Qur’an, padahal Rasulullah Saw. yang menerima
dan membawa wahyu itu sosok bukan penulis yang terbiasa menggunakan pena.[11]
Bagi manusia
Muslim, Firman Allah dalam Qs. 96: 1-5 menyimpan peringatan penting bahwa dia –
sebagai manusia – telah dikeluarkan oleh Allah dari perut ibunya dalam keadaan
tidak mengetahui apa-apa. Lalu Allah memberinya pendengaran (al-sam‘),
penglihatan (al-baṣar), dan hati (al-fu’ād). Kemudian
dimudahkanlah baginya jalan untuk menggapai ilmu. Ia diajarkan Al-Qur’an,
diajarkan al-ḥikmah (kebijaksanaan), dan diajarkan ilmu melalui pena,
yang dengannya ilmu dijaga….[12]
Memang, kata Dr.
al-Sirjānī, Al-Qur’an – disamping juga ada Sunnah Nabi Saw. – merupakan sumber
otentik paling penting bagi peradaban Islam. Karena ia merupakan undang-undang
masyarakat Islam. Ia hadir dengan membawa berbagai penjelasan bagi perkara
kecil maupun besar untuk ditawarkan kepada manusia. Di dalamnya terdapat
kebaikan dan kebahagiaan bagi kemanusiaan. Diturunkan oleh Allah untuk
mengukuhkan perjalanan kehidupan manusia. Di dalamnya tersimpan rahasia
peradaban Islam dan keagungannya, karena memang ia Kitab yang menyeru manusia
kepada kehidupan terbaik (yahdī lillatiī hiya aqwam), yaitu: jalan yang
paling utama, paling baik, dan paling benar. Karena jalan-jalan yang lain
berada di bawah keutamaannya. Dia juga merupakan kitab yang tidak dirusak
oleh kebatilan yang datang kepadanya, baik dari arah depan maupun arah
belakangnya.[13]
Jadi, Al-Qur’an benar-benar Kitab yang baik bagi manusia: dari sisi
spiritualitas (al-rūḥiyyah), rasionalitas (al-‘aqliyyah), sosial
(al-ijtimā‘iyyah), saintifik atau ilmiah (al-‘ilmiyyah),
pemikiran (al-fikriyyah), ekonomi (al-iqtiṣādiyyah), budaya (al-tsaqāfiyyah),
militer (al-‘askariyyah). Dan di dalam ajaran-ajaran yang dikandungnya
tersimpan kebahagiaan bagi manusia.[14]
Ringkasnya,
Al-Qur’an menyimpan selaksa “inspirasi” alias ilhām untuk kemajuan
manusia, khusus umat Islam. Sehingga ia harus benar-benar dijadikan sebagai
sumber otentik dan fundamental bagi kemajuan dan peradaban Islam.
[1] Muhammad
Iqbal, Pembangunan Kembali Alam Pikiran Islam (The Reconstruction of
Religious Thought in Islam), Terj. Osman Raliby (Jakarta: Bulan Bintang,
cet. III, 1983), hlm. 29. Buku fenomenal karya Iqbal ini – dalam bentuk
terjemahnya oleh Osman Raliby – terbit pertama kali tahun 1966. Dan cetakan
keduanya terbit pada 1978.
[2] Cermati, Qs.
al-Isrā’ [17]: 9.
[3] Helmut Gatje,
The Qur’ān and Its Exegesis: Selected Texts with Classical and Modern Muslim
Interpretations, Translated and edited by Alford T. Welch (Berkeley and Los
Angeles: University of California Press, 1976), hlm. 16.
[4] Sayyid Quṭb, Hādzā
al-Dīn (Kairo: Dār al-Syurūq, ), hlm.
[5] Hayati, Qs.
al-‘Alaq [96]: 1-5.
[6] Lihat, Qs.
al-Muddatstsir [74]: 1-7.
[7] Dr. Yūsuf
al-Qaraḍāwī, al-Ḥayāt al-Rabbāniyyah wa al-‘Ilm (Kairo: Maktabah Wahbah,
cet. I, 1416 H/1995 M), hlm. 69-70.
[8] Syekh Dr. ‘Abd
al-Ḥalīm Maḥmūd, Al-Qur’ān wa al-Nabiyy (Kairo: Dār al-Ma‘ārif, cet. II,
1990), hlm. 141.
[9] Lihat, Qs.
al-Qalam [68]: 1.
[10] Cermati, Qs. Ṭāhā
[20]: 114. Lihat, Syekh ‘Abd al-Ḥalīm Maḥmūd, Al-Qur’ān wa Al-Nabiyy,
hlm. 141-142.
[11] Sayyid Quṭb, Fī
Ẓilāl Al-Qur’ān, Jilid VI (Kairo: Dār al-Syurūq, cet. I [Resmi], 1972),
hlm. 3939.
[12] Syekh ‘Abd
al-Raḥmān Nāṣir al-Sa‘dī, Taisīr al-Karīm al-Raḥmān fī Tafsīr Kalām
al-Mannān (Beirut-Lebanon: Mu’assasah al-Risālah, cet. I, 1422 H/2001 M),
hlm. 930.
[13] Cermati, Qs.
Fuṣṣilat [41]: 42.
[14] Dr. Rāghib
al-Sirjānī, Mādzā Qaddama al-Muslimūn li al-‘Ālam: Ishāmāt al-Muslimīn fī
al-Ḥaḍārah al-Insāniyyah, Jilid I (Kairo: Mu’assasah Iqra’, cet. V, 1431
H/2010 M), hlm. 38.
0 komentar:
Posting Komentar