Buku; Pembuka Jendela Dunia
Radinal Mukhtar Harahap, S.HI
(Pimpinan Redaksi Majalah al-Suffah. Penulis buku “Menulis Itu
Asyik Lho!”)
Semua
peradaban yang berhasil bertahan lama, justru dimulai dari satu kitab (bacaan).
Peradaban Yunani dimulai dengan iliad karya Homer pada abad ke-9 sebelum
Masehi. Ia berakhir dengan hadirnya Kitab Perjanjian Baru. Peradaban Eropa
dimulai dengan karya Newton (1641-1727) dan berakhir dengan filsafat Hegel
(1770-1831). Peradaban Islam lahir dengan kehadiran al-Qur’an dan ia tidak akan
berakhir karena kita yakin bahwa ia tidak akan lekang oleh panas dan tidak
lapuk oleh hujan, selama umatnya ikut bersama Allah memeliharanya. Sesungguhnya
Kami (Allah bersama Jibril yang diperintah-Nya) menurunkan al-Qur’an, dan Kami
(yakni Allah dengan keterlibatan manusia) yang memeliharanya. (QS. Al-Hijr
[15]; 9)
Kalimat
di atas adalah potongan kecil pembahasan mengenai al-Qur’an yang diketengahkan
oleh M. Quraish Shihab dalam bukunya Wawasan al-Qur’an. Meski tidak secara
khusus membahas tentang buku bacaan sebagai pembuka jendela dunia, namun
al-Qur’an sebagai bacaan yang sempurna (kitab) pun sejatinya adalah
pembuka jendela dunia. Bahkan Rasulullah, sebagai pemegang mandat titah-Nya,
memberikan garansi bagi siapa saja yang berpegang pada al-Qur’an (dan juga
sabdanya) tidak akan tergelincir dalam kehidupan. Khaled Abou el-Fadl, dalam Musyawarah
Buku, mengembangkan pesan itu dengan berkata; Pesan Islam dimulai dengan
sebuah buku yaitu al-Qur’an. Sebuah buku yang mengandung visi moral dan
kebaikan yang luar biasa.
Meski
demikian, pengetahuan manusia tentang dahsyatnya efek yang ditimbulkan dari sebuah
buku tidak selalu berjalan seiring dan sepaham dengan tindakan yang terdapat di
lapangan. Minat baca masyarakat kita masih rendah. Tahun 2011, United Nation
Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) merilis hasil survet
terhadap minat baca masyarakat Indonesia. Hasilnya, indeks membaca masyarakat
Indonesia hanya 0,001 yang berarti dari seribu penduduk, hanya ada satu orang
saja yang masih memiliki minat baca tinggi. Setahun setelah itu, 2012,
Indonesia duduk di posisi 124 dari 187 Negara dunia dalam penilaian Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) khususnya mengenai pemenuhan pendidikan, kesehatan
dan ‘melek huruf. Indonesia sebagai Negara berpendukuk 165,7 juta jiwa lebih,
hanya memiliki jumlah terbitan buku sebanyak 50 juta pertahun. Itu artinya,
rata-rata satu buku di Indonesia dibaca oleh lima orang saja.
Data
minat baca yang begitu rendah di atas tentu membuat miris jika dikaitkan dengan
fakta bahwa Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia.
Sejarah perintah membaca sebagai wahyu pertama yang diturunkan Allah swt
seakan-akan hanya didengar saja untuk selanjutnya diabadikan dalam buku-buku
yang tak dibaca. Tidak ada pengamalan nilai perintah Allah tersebut meski Allah
sendiri tidak mengharuskan hamba-Nya untuk membaca hal-hal tertulis saja
melainkan –juga- yang tak tertulis.
Perpustakaan; Miniatur Kecil Sebuah Dunia Besar
Satu
di antara banyak penyebab minimnya minat baca masyarakat suatu daerah adalah
keberadaan perpustakaan sebagai tempat layanan umum kaum literasi. Selain itu,
ketersediaan buku di perpustakaan juga menjadi masalah tersendiri yang harus
dipecahkan. Tidak meningkatnya rasa ingin tahu seseorang terkadang, memang,
terkait erat dengan penyediaan fasilitas. Semakin banyak perpustakaan di suatu
tempat, semakin tinggi minat baca masyarakat di tempat tersebut. Sebaliknya,
jangan pernah berharap untuk menemukan masyarakat dengan bacaan yang banyak
jika tidak banyak buku yang tersedia untuk dibaca. Begitu kira-kira alur
berpikirnya.
Bila
kita telisik sejarah sebelumnya, dalam dunia Islam sendiri telah membuktikan
bahwa gegap-gempita keilmuan Islam menemukan momen emasnya adalah ketika
dibangun pusat-pusat studi keislaman dan perpustakaan. Para khalifah mendorong
ilmuwan untuk menelaah, mengkaji, menganalisa ilmu, baik yang berasal dari arab
maupun non-Arab. Buku-buku filosof Yunani kuno diterjemahkan dan dikaji ulang
untuk kemudian dimodifikasi dan dikembangkan sesuai dengan framework
Islam. Cara itu pula yang kemudian dipakai oleh masyarakat Barat untuk
membangkitkan dunianya yang dikenal dengan masa keemasan (renaissance).
Di
Indonesia sendiri, mengacu kembali pada minat baca yang telah dipaparkan
sebelumnya, usaha meraih zaman emas keilmuan rasanya masih sangat jauh dari
harapan. Dukungan pemerintah terhadap penulis, sebagai produsen ilmu masih
sangat minim, baik materil maupun immateril. Tingkat kesejahteraan ‘orang-orang
berilmu’ pun tidak begitu membahagiakan sehingga kebanyakan dari mereka lebih
memilih untuk menggunakan tenaganya guna meraih kesejahteraan ketimbang
menyalurkan ilmunya pada generasi penerus. Tumpang tindih permasalahan ini
ditambah lagi dengan tingginya harga jual ilmu yang ada di buku-buku,
lembaga-lembaga pendidikan dan forum-forum penelitian yang tujuan akhirnya
bukan pada peningkatan kesejahteraan mereka yang bergumul di dalamnya melainkan
pada pemodal yang menguasai aset-asetnya.
Menyalakan Lilin Keilmuan
Untuk
semua penuturan yang telah di bahas itu, kiranya, pepatah lama yang berbunyi
“ketimbang menghardik kegelapan, ada baiknya menyalakan lilin untuk menerangi
jalanmu” dapat dijadikan pegangan. Perihal peningkatan minat baca tentu bukan
perihal mudah bak membalikkan telapak tangan atau hanya mengedipkan mata.
Permasalahan ini memiliki anak permasalahan yang beragam. Tidak putus melainkan
saling berkaitan dan komplek. Untuk itu, butuh kesadaran pribadi masing-masing
agar tujuan tersebut dapat terwujud. Beberapa di antaranya dapat dirumuskan
sebagai berikut:
Pertama, setiap orang
bertanggung jawab atas dirinya sendiri dan keluarganya dalam meningkatkan minat
baca di lingkungannya. Milikilah jam membaca yang rutin dengan target yang
jelas. Manusia sebagai makhluk sosial memang selalu membutuhkan dukungan orang
lain untuk melakukan segala sesuatu, begitu pula dengan membaca. Setidaknya,
lingkup ruang terkecil lebih mudah untuk menyatukan persepsi dan tujuan
ketimbang menunggu hingga komunitas besar, daerah, negara, bangsa bahkan dunia
bersatu untuk menyamakan visi.
Kedua, keberadaan
perpustakaan pribadi atau koleksi buku-buku di rumah sendiri menjadi hal yang
mendukung poin pertama. Setiap keluarga pun seharusnya mempunyai
anggaran tetap untuk peningkatan kecerdasan anggota keluarganya, bukan cuma
pertumbuhan badan melalui makan atau peningkatan pendidikan di lembaga-lembaga
resmi saja. Adakalanya, minimnya minat baca keluarga karena memang tidak adanya
bahan bacaan.
Ketiga, rajinlah
untuk mendatangi forum-forum diskusi, pengajian-pengajian ilmu-ilmu tertentu
maupun pameran-pameran pendidikan. Untuk yang terakhir ini tentu saja
membutuhkan informasi tambahan. Namun, perkembangan teknologi dan informasi
yang kian pesat, tentu, sangat membantu kita.
Akhir
kata, “buku adalah jendela dunia” semua mafhum dengan ungkapan itu.
Islam punya tradisi emas keilmuan, setiap muslim layak merasa bangga. Bila pada
akhirnya kita sebagai pemegang estafet yang harus meneruskan, di situlah letak
permasalahannya. Mampukah kita membuka jendela-jendela dunia kalau membaca buku
saja tidak mau? Masih banggakah kita pada tradisi emas keilmuan Islam sedangkan
kita lebih tertarik pada ‘emas’-nya ketimbang ilmu? Mari membaca!
0 komentar:
Posting Komentar