Feature Top (Full Width)

Rabu, 20 November 2013

Buku; Pembuka Jendela Dunia



Buku; Pembuka Jendela Dunia

Radinal Mukhtar Harahap, S.HI
(Pimpinan Redaksi Majalah al-Suffah. Penulis buku “Menulis Itu Asyik Lho!”)

Semua peradaban yang berhasil bertahan lama, justru dimulai dari satu kitab (bacaan). Peradaban Yunani dimulai dengan iliad karya Homer pada abad ke-9 sebelum Masehi. Ia berakhir dengan hadirnya Kitab Perjanjian Baru. Peradaban Eropa dimulai dengan karya Newton (1641-1727) dan berakhir dengan filsafat Hegel (1770-1831). Peradaban Islam lahir dengan kehadiran al-Qur’an dan ia tidak akan berakhir karena kita yakin bahwa ia tidak akan lekang oleh panas dan tidak lapuk oleh hujan, selama umatnya ikut bersama Allah memeliharanya. Sesungguhnya Kami (Allah bersama Jibril yang diperintah-Nya) menurunkan al-Qur’an, dan Kami (yakni Allah dengan keterlibatan manusia) yang memeliharanya. (QS. Al-Hijr [15]; 9)

Kalimat di atas adalah potongan kecil pembahasan mengenai al-Qur’an yang diketengahkan oleh M. Quraish Shihab dalam bukunya Wawasan al-Qur’an. Meski tidak secara khusus membahas tentang buku bacaan sebagai pembuka jendela dunia, namun al-Qur’an sebagai bacaan yang sempurna (kitab) pun sejatinya adalah pembuka jendela dunia. Bahkan Rasulullah, sebagai pemegang mandat titah-Nya, memberikan garansi bagi siapa saja yang berpegang pada al-Qur’an (dan juga sabdanya) tidak akan tergelincir dalam kehidupan. Khaled Abou el-Fadl, dalam Musyawarah Buku, mengembangkan pesan itu dengan berkata; Pesan Islam dimulai dengan sebuah buku yaitu al-Qur’an. Sebuah buku yang mengandung visi moral dan kebaikan yang luar biasa.

Meski demikian, pengetahuan manusia tentang dahsyatnya efek yang ditimbulkan dari sebuah buku tidak selalu berjalan seiring dan sepaham dengan tindakan yang terdapat di lapangan. Minat baca masyarakat kita masih rendah. Tahun 2011, United Nation Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) merilis hasil survet terhadap minat baca masyarakat Indonesia. Hasilnya, indeks membaca masyarakat Indonesia hanya 0,001 yang berarti dari seribu penduduk, hanya ada satu orang saja yang masih memiliki minat baca tinggi. Setahun setelah itu, 2012, Indonesia duduk di posisi 124 dari 187 Negara dunia dalam penilaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM) khususnya mengenai pemenuhan pendidikan, kesehatan dan ‘melek huruf. Indonesia sebagai Negara berpendukuk 165,7 juta jiwa lebih, hanya memiliki jumlah terbitan buku sebanyak 50 juta pertahun. Itu artinya, rata-rata satu buku di Indonesia dibaca oleh lima orang saja.

Data minat baca yang begitu rendah di atas tentu membuat miris jika dikaitkan dengan fakta bahwa Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Sejarah perintah membaca sebagai wahyu pertama yang diturunkan Allah swt seakan-akan hanya didengar saja untuk selanjutnya diabadikan dalam buku-buku yang tak dibaca. Tidak ada pengamalan nilai perintah Allah tersebut meski Allah sendiri tidak mengharuskan hamba-Nya untuk membaca hal-hal tertulis saja melainkan –juga- yang tak tertulis.

Perpustakaan; Miniatur Kecil Sebuah Dunia Besar

Satu di antara banyak penyebab minimnya minat baca masyarakat suatu daerah adalah keberadaan perpustakaan sebagai tempat layanan umum kaum literasi. Selain itu, ketersediaan buku di perpustakaan juga menjadi masalah tersendiri yang harus dipecahkan. Tidak meningkatnya rasa ingin tahu seseorang terkadang, memang, terkait erat dengan penyediaan fasilitas. Semakin banyak perpustakaan di suatu tempat, semakin tinggi minat baca masyarakat di tempat tersebut. Sebaliknya, jangan pernah berharap untuk menemukan masyarakat dengan bacaan yang banyak jika tidak banyak buku yang tersedia untuk dibaca. Begitu kira-kira alur berpikirnya.

Bila kita telisik sejarah sebelumnya, dalam dunia Islam sendiri telah membuktikan bahwa gegap-gempita keilmuan Islam menemukan momen emasnya adalah ketika dibangun pusat-pusat studi keislaman dan perpustakaan. Para khalifah mendorong ilmuwan untuk menelaah, mengkaji, menganalisa ilmu, baik yang berasal dari arab maupun non-Arab. Buku-buku filosof Yunani kuno diterjemahkan dan dikaji ulang untuk kemudian dimodifikasi dan dikembangkan sesuai dengan framework Islam. Cara itu pula yang kemudian dipakai oleh masyarakat Barat untuk membangkitkan dunianya yang dikenal dengan masa keemasan (renaissance).

Di Indonesia sendiri, mengacu kembali pada minat baca yang telah dipaparkan sebelumnya, usaha meraih zaman emas keilmuan rasanya masih sangat jauh dari harapan. Dukungan pemerintah terhadap penulis, sebagai produsen ilmu masih sangat minim, baik materil maupun immateril. Tingkat kesejahteraan ‘orang-orang berilmu’ pun tidak begitu membahagiakan sehingga kebanyakan dari mereka lebih memilih untuk menggunakan tenaganya guna meraih kesejahteraan ketimbang menyalurkan ilmunya pada generasi penerus. Tumpang tindih permasalahan ini ditambah lagi dengan tingginya harga jual ilmu yang ada di buku-buku, lembaga-lembaga pendidikan dan forum-forum penelitian yang tujuan akhirnya bukan pada peningkatan kesejahteraan mereka yang bergumul di dalamnya melainkan pada pemodal yang menguasai aset-asetnya.

Menyalakan Lilin Keilmuan

Untuk semua penuturan yang telah di bahas itu, kiranya, pepatah lama yang berbunyi “ketimbang menghardik kegelapan, ada baiknya menyalakan lilin untuk menerangi jalanmu” dapat dijadikan pegangan. Perihal peningkatan minat baca tentu bukan perihal mudah bak membalikkan telapak tangan atau hanya mengedipkan mata. Permasalahan ini memiliki anak permasalahan yang beragam. Tidak putus melainkan saling berkaitan dan komplek. Untuk itu, butuh kesadaran pribadi masing-masing agar tujuan tersebut dapat terwujud. Beberapa di antaranya dapat dirumuskan sebagai berikut:

Pertama, setiap orang bertanggung jawab atas dirinya sendiri dan keluarganya dalam meningkatkan minat baca di lingkungannya. Milikilah jam membaca yang rutin dengan target yang jelas. Manusia sebagai makhluk sosial memang selalu membutuhkan dukungan orang lain untuk melakukan segala sesuatu, begitu pula dengan membaca. Setidaknya, lingkup ruang terkecil lebih mudah untuk menyatukan persepsi dan tujuan ketimbang menunggu hingga komunitas besar, daerah, negara, bangsa bahkan dunia bersatu untuk menyamakan visi.

Kedua, keberadaan perpustakaan pribadi atau koleksi buku-buku di rumah sendiri menjadi hal yang mendukung poin pertama. Setiap keluarga pun seharusnya mempunyai anggaran tetap untuk peningkatan kecerdasan anggota keluarganya, bukan cuma pertumbuhan badan melalui makan atau peningkatan pendidikan di lembaga-lembaga resmi saja. Adakalanya, minimnya minat baca keluarga karena memang tidak adanya bahan bacaan.

Ketiga, rajinlah untuk mendatangi forum-forum diskusi, pengajian-pengajian ilmu-ilmu tertentu maupun pameran-pameran pendidikan. Untuk yang terakhir ini tentu saja membutuhkan informasi tambahan. Namun, perkembangan teknologi dan informasi yang kian pesat, tentu, sangat membantu kita.

Akhir kata, “buku adalah jendela dunia” semua mafhum dengan ungkapan itu. Islam punya tradisi emas keilmuan, setiap muslim layak merasa bangga. Bila pada akhirnya kita sebagai pemegang estafet yang harus meneruskan, di situlah letak permasalahannya. Mampukah kita membuka jendela-jendela dunia kalau membaca buku saja tidak mau? Masih banggakah kita pada tradisi emas keilmuan Islam sedangkan kita lebih tertarik pada ‘emas’-nya ketimbang ilmu? Mari membaca!

0 komentar:

Posting Komentar

 
Template designed by Liza Burhan