Feature Top (Full Width)

Rabu, 20 November 2013

Makna Tasawuf; Sebuah Pengantar (1)



Makna Tasawuf; Sebuah Pengantar (1)

H. Andi Wahyudi, Lc., MA

(Pengajar Ilmu Tauhid di Pesantren Ar-Raudlatul Hasanah. Penulis buku Kultum Penyejuk Hati.)

Mukaddimah

Perbincangan seputar dunia spritual Islam tentunya selalu menarik mengingat bahwa spritual Islam diwarnai dengan bermacam ragam kebudayaan umat dan bangsa-bangsa yang melahirkan pemikiran dan keyakinan-keyakinan yang sangat kaya dan begitu luas. Pemikiran dan keyakinan ini kemudian memberikan corak yang beragam pula tentang pengalaman keagamaan serta konsep tentang ‘penyaksian’ dan ‘ekstasi’ atau kegembiraan yang luar biasa yang dirasakan oleh seseorang yang tengah menjalani penyucian jiwa dan keagungan moral.

               Pengalaman-pengalaman spritual dalam Islam, terkadang, hadir sebagai sebuah fenomena Islam tersendiri dan terkadang, dinilai, juga jauh dari hakikat atau nilai-nilai Islam. Sehingga dalam hal ini lahirlah pendapat-pendapat dari pakar-pakar, baik dari kalangan orientalis ataupun dari kalangan Islam yang mencoba untuk menafsirkan tentang seputar terbentuknya tasawuf Islam. Pendapat-pendapat para pakar juga mencoba untuk menganalisa serta menjelaskan dasar-dasar dan perkembangan tasawuf Islam.

               Dari berbagai analisa terhadap tasawuf Islam, setidaknya ada dua pendapat yang berbeda dalam melihatnya. Ada yang menyatakan jika tasawuf Islam sangat terkait dengan pengaruh-pengaruh asing. Sehingga sampai pada kesimpulan jika tasawuf Islam tidak lebih hanyalah merupakan copy-an dari agama-agama sebelumnya. Pendapat lain menyatakan bahwa tasawuf Islam adalah murni terlahirkan dari ‘rahim’ Islam. Pendapat terakhir ini mengkaitkan gerakan tasawuf dengan Islam sebagai aqidah dan manhaj (metode). Dua pendapat ini sebenarnya, jika ingin dikrucutkan, adalah merupakan hasil dari analisa-analisa terhadap tokoh-tokoh sufi Islam yang hidup pada masa,  lingkungan dan tempat yang berbeda.

               Tulisan ini adalah sebuah usaha sederhana untuk mengenal gerakan spritual dalam Islam secara eksplisit terutama pada saat terjadinya ‘perkawinan’ antara tasawuf dan filsafat. Pada fase ini, tasawuf telah terpengaruh dengan budaya-budaya asing yang datang bersamaan dengan hadirnya gerakan penerjemahan. Disamping itu, hubungan dan perbauran yang terjadi antara bangsa, benturan-benturan peradaban dengan agama-agama dan filsafat kuno telah menambah kekayaan khazanah intelektual dan spritual tersendiri dalam Islam.

Makna Tasawuf

Secara umum pengertian tasawuf adalah kecenderungan atau dorongan spritual yang lahir secara universal, yang esensinya adalah zuhud, tujuannya adalah pendekatan diri kepada Zat yang Maha Tinggi. Kecenderungan spritual manusia ini wujudnya telah ada sejak lama, yaitu ketika manusia berusaha untuk berinteraksi dengan Zat yang Maha Tinggi guna mencari dan menelusuri hakekat-Nya yaitu dengan cara membersihkan diri dan mengekang hawa nafsunya agar ruhnya dapat bersih hingga ia dapat memiliki kesiapan untuk dapat meraih emanasi (faidh) dan iluminasi (isyraq) dari alam cahaya, alam kebaikan dan alam keindahan.[1]

            Dari sisi bahasa, ada beberapa kata atau istilah yang disebutkan oleh para ulama dan para pakar yang dihubungkan untuk menunjukkan makna tasawuf. Setidaknya ada lima pendapat tentang asal muasal kata tasawuf. Pertama, seperti yang dikutip dari Biruni, bahwa kata tasawuf merupakan plesetan (tahrif) dari kata sophos (bahasa Yunani) yang artinya adalah hikmah. Kedua, kata shuf (kain wol). Kata tasawwafa diartikan dengan: menggunakan atau memakai kain wol, meskipun kaum sufi tidaklah identik dengan memakai kain wol. Ketiga, kata shufah, yaitu pekarangan masjid rasulullah saw. Keempat, kata asshafa’ (suci, jernih, bersih). Kelima, bersumber dari kata asshaf (barisan), karena kaum sufi adalah mereka yang berada di barisan pertama yang menghadirkan Allah dengan hati mereka.[2]

            Perihal ini, perbedaan dalam asal kata tasawuf, menurut Ahmad Bahjat disebabkan karena beberapa hal: 1) karena tasawuf merupakan misteri, 2) tasawuf  merupakan hal yang masih debatebel (amrun khilafiyun), 3) tasawuf memiliki bermacam ragam dimensi (muta’addid al-jawanib).[3] 
  
Namun mayoritas sufi terdahulu (al-mutaqaddimun) seperti Abu Nasr al-Siraj al-Tusi[4], Abu Thalib al-Makki[5], Suhrawardi[6], al-Kalabadzi[7], maupun para ulama dan akademisi masa moderen (al-muta’akhirun) seperti Zaki Mubarak[8], Musthafa Abdu Razik, Abdul Halim Mahmud[9] dan orientalis terkenal Louis Massignon, Margeliot, Reynold A. Nicholson, Arberry, Ignaz Goldziher, Noldek[10] berpendapat bahwa kata tasawuf adalah berasal dari kata asshuf (wol).[11]Hal ini dinilai karena secara prinsip kata tashawwuf yang artinya memakai kain wol menunjukkan sebuah model atau bentuk prilaku yang menghindari dunia sebagai ciri  atau tanda bagi para zahid dan ahli ibadah.[12]

            Adapun tasawuf menurut istilah sangat bermacam ragam pengertiannya. Menurut Imam Suhrawardi bahwa ungkapan-ungkapan para Syeikh tasawuf yang terkait dengan esensi tasawuf berjumlah lebih dari seribu ungkapan.[13] Begitu banyaknya defenisi tasawuf yang termaktub dalam buku-buku berbahasa Arab ataupun Persia-seperti yang dinyatakan oleh Nicholson, sehingga tidak mungkin untuk dibatasi.[14] Para sufi biasanya  mengungkapkan defenisi tasawuf sesuai dengan apa yang mereka rasakan dalam cinta, rindu (wajd) dan kesaksian mereka. Pengalaman-pengalaman para sufi adalah merupakan buah dari makrifat yang mereka terima secara langsung, dimana tidak memungkinkan untuk dapat dipelajari atau diajarkan kepada orang lain. Perihal ini dikemukakan oleh Suhrawardi dalam ‘Awariful Ma’arif bahwa tidak mungkinnya memberikan batasan-batasan defenisi dalam ilmu tasawuf, karena tasawuf merupakan isyarat-isyarat atau tanda-tanda serta pemberian (wahbah) yang diperoleh seorang sufi dari lautan anugerah yang tidak akan habis.[15]  

Perihal sulitnya menemukan defenisi tasawuf yang sempurna, dalam catatannya Ibnu Khaldun memberikan dua alasannya:

1) Defenisi yang cukup beragam yang diberikan oleh para sufi, memang bukanlah defenisi yang sempurna, yang mencakup setiap gambaran serta bagian-bagian tasawuf. Para sufi memberikan defenisi tasawuf dengan ungkapan-ungkapan yang terkait dengan kondisi (ahwal) yang mereka rasakan dalam sebuah kesempatan tertentu. Sehingga defenisi tasawuf adalah merupakan ungkapan perasaan hati, ahwal serta maqamat yang selalu ingin mereka tingkatkan. 

2) Adanya perluasaan negara (daulah) Islam yang mencakup di dalamnya daerah-daerah yang memiliki budaya-budaya agama yang telah ada sebelum kedatangan Islam. Budaya-budaya agama yang memiliki muatan arti dan pemikiran ini kemudian masuk menyerap dalam masyarakat Islam, melakukan perubahan-perubahan dalam kehidupan Islam. Hingga akhirnya mempengaruhi, sedikit banyaknya, istilah atau kata-kata dari makna aslinya seperti yang dikenal pada masa awal Islam. Perubahan seperti ini pula yang terjadi pada kata tasawuf yang kian hari pengertiannya makin meluas dengan makna-makna yang baru, sehingga sedikit demi sedikit kian jauh dari asal-muasal maknanya yang telah dikenal. [16]

            Meskipun sulit untuk dapat menemukan defenisi tasawuf yang sempurna, namun setidaknya ada empat sudut pandang terkait dengan defenisi tasawuf itu sendiri, yaitu moral, zuhud, ibadah dan esensi seorang hamba. [17] Pada tulisan berikutnya akan kita bahas lebih mendalam.



[1]Muhammad Fauqiy Hijaj, Syakhsiyat Shufiyah, ( Kairo: Darul Huda, 1983), h. 6.
[2]Abdul halim Mahmud, Qadhiyah al-Tasawuf; al-Munqidz min al-Dhalal, (Kairo: dar al-Ma’arif), h. 31. 
[3]Ahmad Bajat, Biharul Hubb ‘Inda al-Sufiyah, (Kairo: Matba’ah al-Mukhtar al-Islamiy, tanpa tahun cetak) h. 32.
[4]Abu Nasr as-Siraj at-Tusi, Alluma’, ditahqiq oleh Abdul Halim Mahmud, (Kairo: Darul Kutub al-Haditsah, 1960) h. 47.
[5]Abu Thalib Muhammad Ali al-Makki, Qut al-Qulub Fi Mu’amalatil Mahbub, Jilid II, (Kairo: Matba’ah Mishriyah, 1932), h. 167. 
[6]Suhrawardi, ‘Awariful Ma’arif, (Bairut: Dar Kitab al-‘Arabi, 1403 H), h. 60.
[7]Al-Kalabadzi, al-Ta’aruf  Li Madzhab Ahli al-Tashawuf, ditahqiq oleh Mahmud Amin al-Nawawi, (Kairo: Maktabah al-Kuliyyat al-Azhariyah, 1969), h. 34.   
[8]Zaki Mubarak, al-Tasawuf al-Islamiy fi al-adab wa al-Akhlak, (Bairut: Darul Jail, tanpa tahun penerbitan ), h. 51-52.
[9]Abdul Halim Mahmud, Qadhiyah al-Tasawuf; al-Munqidz min al-Dhalal, h. 34.
[10]Irfan Abdul Hamid Fattah, Nasy’ah al-Falsafah al-Sufiyah wa Thatawwuruha, (Bairut: Maktab al-Islamiy, 1974), h. 110.
[11]Abdul Halim Mahmud, Qadhiyah al-Tasawuf; al-Munqidz min al-Dhalal, h. 34. Meskipun kata tasawuf menunjukkan kepada satu model pakaian-sebagai bentuk zahir atau penampilan-, namun makna tasawuf  bukanlah demikian adanya.  
[12]Ibid,. h. 35.
[13]Suhrawardi, ‘Awariful Ma’arif, h. 54.
[14]Irfan Abdul Hamid Fattah, Nasy’ah al-Falsafah al-Sufiyah wa Thatawwuruha, h. 115. 
[15]Suhrawardi, ‘Awariful Ma’arif, h. 54. Menurut Suhrawardi ilmu-ilmu Fiqihlah yang didefenisikan, karena ilmu-ilmu tersebut dapat diperoleh dengan cara belajar serta diusahakan.          
[16]Lihat Ibnu Khaldun, Syifa’ al-Sa’il Li Tahdzib al-Masa’il, (Istambul: 1957), h. 88.   
[17]Irfan Abdul Hamid Fattah, Nasy’ah al-Falsafah al-Sufiyah wa Thatawwuruha, h. 115.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Template designed by Liza Burhan