Makna Tasawuf; Sebuah Pengantar (1)
H. Andi Wahyudi, Lc., MA
(Pengajar Ilmu Tauhid di Pesantren Ar-Raudlatul Hasanah.
Penulis buku Kultum Penyejuk Hati.)
Mukaddimah
Perbincangan
seputar dunia spritual Islam tentunya selalu menarik mengingat bahwa spritual Islam
diwarnai dengan bermacam ragam kebudayaan umat dan bangsa-bangsa yang
melahirkan pemikiran dan keyakinan-keyakinan yang sangat kaya dan begitu luas.
Pemikiran dan keyakinan ini kemudian memberikan corak yang beragam pula tentang
pengalaman keagamaan serta konsep tentang ‘penyaksian’ dan ‘ekstasi’ atau
kegembiraan yang luar biasa yang dirasakan oleh seseorang yang tengah menjalani
penyucian jiwa dan keagungan moral.
Pengalaman-pengalaman spritual
dalam Islam, terkadang, hadir sebagai sebuah fenomena Islam tersendiri dan
terkadang, dinilai, juga jauh dari hakikat atau nilai-nilai Islam. Sehingga
dalam hal ini lahirlah pendapat-pendapat dari pakar-pakar, baik dari kalangan
orientalis ataupun dari kalangan Islam yang mencoba untuk menafsirkan tentang
seputar terbentuknya tasawuf Islam. Pendapat-pendapat para pakar juga mencoba
untuk menganalisa serta menjelaskan dasar-dasar dan perkembangan tasawuf Islam.
Dari berbagai analisa terhadap
tasawuf Islam, setidaknya ada dua pendapat yang berbeda dalam melihatnya. Ada
yang menyatakan jika tasawuf Islam sangat terkait dengan pengaruh-pengaruh
asing. Sehingga sampai pada kesimpulan jika tasawuf Islam tidak lebih hanyalah
merupakan copy-an dari agama-agama sebelumnya. Pendapat lain menyatakan
bahwa tasawuf Islam adalah murni terlahirkan dari ‘rahim’ Islam. Pendapat
terakhir ini mengkaitkan gerakan tasawuf dengan Islam sebagai aqidah dan
manhaj (metode). Dua pendapat ini sebenarnya, jika ingin dikrucutkan, adalah
merupakan hasil dari analisa-analisa terhadap tokoh-tokoh sufi Islam yang hidup
pada masa, lingkungan dan tempat yang
berbeda.
Tulisan ini adalah sebuah usaha
sederhana untuk mengenal gerakan spritual dalam Islam secara eksplisit terutama
pada saat terjadinya ‘perkawinan’ antara tasawuf dan filsafat. Pada fase ini,
tasawuf telah terpengaruh dengan budaya-budaya asing yang datang bersamaan
dengan hadirnya gerakan penerjemahan. Disamping itu, hubungan dan perbauran
yang terjadi antara bangsa, benturan-benturan peradaban dengan agama-agama dan
filsafat kuno telah menambah kekayaan khazanah intelektual dan spritual
tersendiri dalam Islam.
Makna Tasawuf
Secara umum
pengertian tasawuf adalah kecenderungan atau dorongan spritual yang lahir
secara universal, yang esensinya adalah zuhud, tujuannya adalah pendekatan diri
kepada Zat yang Maha Tinggi. Kecenderungan spritual manusia ini wujudnya telah
ada sejak lama, yaitu ketika manusia berusaha untuk berinteraksi dengan Zat
yang Maha Tinggi guna mencari dan menelusuri hakekat-Nya yaitu dengan cara
membersihkan diri dan mengekang hawa nafsunya agar ruhnya dapat bersih hingga
ia dapat memiliki kesiapan untuk dapat meraih emanasi (faidh) dan
iluminasi (isyraq) dari alam cahaya, alam kebaikan dan alam keindahan.[1]
Dari sisi bahasa, ada beberapa kata
atau istilah yang disebutkan oleh para ulama dan para pakar yang dihubungkan
untuk menunjukkan makna tasawuf. Setidaknya ada lima pendapat tentang asal
muasal kata tasawuf. Pertama, seperti yang dikutip dari Biruni, bahwa kata
tasawuf merupakan plesetan (tahrif) dari kata sophos (bahasa
Yunani) yang artinya adalah hikmah. Kedua, kata shuf (kain wol). Kata tasawwafa
diartikan dengan: menggunakan atau memakai kain wol, meskipun kaum sufi
tidaklah identik dengan memakai kain wol. Ketiga, kata shufah, yaitu
pekarangan masjid rasulullah saw. Keempat, kata asshafa’ (suci, jernih,
bersih). Kelima, bersumber dari kata asshaf (barisan), karena kaum sufi
adalah mereka yang berada di barisan pertama yang menghadirkan Allah dengan
hati mereka.[2]
Perihal ini, perbedaan dalam asal
kata tasawuf, menurut Ahmad Bahjat disebabkan karena beberapa hal: 1) karena
tasawuf merupakan misteri, 2) tasawuf
merupakan hal yang masih debatebel (amrun khilafiyun), 3)
tasawuf memiliki bermacam ragam dimensi (muta’addid al-jawanib).[3]
Namun mayoritas sufi terdahulu (al-mutaqaddimun) seperti Abu Nasr
al-Siraj al-Tusi[4],
Abu Thalib al-Makki[5],
Suhrawardi[6], al-Kalabadzi[7], maupun para ulama dan
akademisi masa moderen (al-muta’akhirun) seperti Zaki Mubarak[8], Musthafa Abdu Razik,
Abdul Halim Mahmud[9]
dan orientalis terkenal Louis Massignon, Margeliot, Reynold A. Nicholson,
Arberry, Ignaz Goldziher, Noldek[10] berpendapat bahwa kata
tasawuf adalah berasal dari kata asshuf (wol).[11]Hal ini dinilai karena
secara prinsip kata tashawwuf yang artinya memakai kain wol menunjukkan
sebuah model atau bentuk prilaku yang menghindari dunia sebagai ciri atau tanda bagi para zahid dan ahli ibadah.[12]
Adapun tasawuf menurut istilah
sangat bermacam ragam pengertiannya. Menurut Imam Suhrawardi bahwa
ungkapan-ungkapan para Syeikh tasawuf yang terkait dengan esensi tasawuf
berjumlah lebih dari seribu ungkapan.[13] Begitu banyaknya defenisi
tasawuf yang termaktub dalam buku-buku berbahasa Arab ataupun Persia-seperti
yang dinyatakan oleh Nicholson, sehingga tidak mungkin untuk dibatasi.[14] Para sufi biasanya mengungkapkan defenisi tasawuf sesuai dengan
apa yang mereka rasakan dalam cinta, rindu (wajd) dan kesaksian mereka.
Pengalaman-pengalaman para sufi adalah merupakan buah dari makrifat yang mereka
terima secara langsung, dimana tidak memungkinkan untuk dapat dipelajari atau
diajarkan kepada orang lain. Perihal ini dikemukakan oleh Suhrawardi dalam ‘Awariful
Ma’arif bahwa tidak mungkinnya memberikan batasan-batasan defenisi dalam
ilmu tasawuf, karena tasawuf merupakan isyarat-isyarat atau tanda-tanda serta
pemberian (wahbah) yang diperoleh seorang sufi dari lautan anugerah yang
tidak akan habis.[15]
Perihal sulitnya menemukan defenisi tasawuf yang sempurna, dalam catatannya
Ibnu Khaldun memberikan dua alasannya:
1) Defenisi yang cukup beragam yang diberikan oleh para sufi, memang
bukanlah defenisi yang sempurna, yang mencakup setiap gambaran serta
bagian-bagian tasawuf. Para sufi memberikan defenisi tasawuf dengan
ungkapan-ungkapan yang terkait dengan kondisi (ahwal) yang mereka
rasakan dalam sebuah kesempatan tertentu. Sehingga defenisi tasawuf adalah
merupakan ungkapan perasaan hati, ahwal serta maqamat yang selalu
ingin mereka tingkatkan.
2) Adanya perluasaan negara (daulah) Islam yang mencakup di dalamnya
daerah-daerah yang memiliki budaya-budaya agama yang telah ada sebelum
kedatangan Islam. Budaya-budaya agama yang memiliki muatan arti dan pemikiran
ini kemudian masuk menyerap dalam masyarakat Islam, melakukan
perubahan-perubahan dalam kehidupan Islam. Hingga akhirnya mempengaruhi,
sedikit banyaknya, istilah atau kata-kata dari makna aslinya seperti yang dikenal
pada masa awal Islam. Perubahan seperti ini pula yang terjadi pada kata tasawuf
yang kian hari pengertiannya makin meluas dengan makna-makna yang baru,
sehingga sedikit demi sedikit kian jauh dari asal-muasal maknanya yang telah
dikenal. [16]
Meskipun sulit untuk dapat menemukan
defenisi tasawuf yang sempurna, namun setidaknya ada empat sudut pandang
terkait dengan defenisi tasawuf itu sendiri, yaitu moral, zuhud, ibadah dan
esensi seorang hamba. [17]
Pada tulisan berikutnya akan kita bahas lebih mendalam.
[1]Muhammad
Fauqiy Hijaj, Syakhsiyat Shufiyah, ( Kairo: Darul Huda, 1983), h. 6.
[2]Abdul halim Mahmud, Qadhiyah
al-Tasawuf; al-Munqidz min al-Dhalal, (Kairo: dar al-Ma’arif), h. 31.
[3]Ahmad Bajat, Biharul Hubb ‘Inda
al-Sufiyah, (Kairo: Matba’ah al-Mukhtar al-Islamiy, tanpa tahun cetak) h.
32.
[4]Abu Nasr as-Siraj at-Tusi, Alluma’,
ditahqiq oleh Abdul Halim Mahmud, (Kairo: Darul Kutub al-Haditsah, 1960)
h. 47.
[5]Abu Thalib Muhammad Ali al-Makki, Qut
al-Qulub Fi Mu’amalatil Mahbub, Jilid II, (Kairo: Matba’ah Mishriyah,
1932), h. 167.
[6]Suhrawardi, ‘Awariful Ma’arif, (Bairut: Dar
Kitab al-‘Arabi, 1403 H), h. 60.
[7]Al-Kalabadzi, al-Ta’aruf Li Madzhab Ahli al-Tashawuf, ditahqiq oleh
Mahmud Amin al-Nawawi, (Kairo: Maktabah al-Kuliyyat al-Azhariyah, 1969), h.
34.
[8]Zaki
Mubarak, al-Tasawuf al-Islamiy fi al-adab wa al-Akhlak, (Bairut: Darul
Jail, tanpa tahun penerbitan ), h. 51-52.
[9]Abdul Halim Mahmud, Qadhiyah
al-Tasawuf; al-Munqidz min al-Dhalal, h. 34.
[10]Irfan
Abdul Hamid Fattah, Nasy’ah al-Falsafah al-Sufiyah wa Thatawwuruha,
(Bairut: Maktab al-Islamiy, 1974), h. 110.
[11]Abdul Halim Mahmud, Qadhiyah
al-Tasawuf; al-Munqidz min al-Dhalal, h. 34. Meskipun kata tasawuf
menunjukkan kepada satu model pakaian-sebagai bentuk zahir atau penampilan-,
namun makna tasawuf bukanlah demikian
adanya.
[12]Ibid,.
h. 35.
[13]Suhrawardi, ‘Awariful Ma’arif, h. 54.
[14]Irfan
Abdul Hamid Fattah, Nasy’ah al-Falsafah al-Sufiyah wa Thatawwuruha, h.
115.
[15]Suhrawardi, ‘Awariful Ma’arif, h. 54. Menurut
Suhrawardi ilmu-ilmu Fiqihlah yang didefenisikan, karena ilmu-ilmu tersebut
dapat diperoleh dengan cara belajar serta diusahakan.
[16]Lihat
Ibnu Khaldun, Syifa’ al-Sa’il Li Tahdzib al-Masa’il, (Istambul: 1957),
h. 88.
[17]Irfan
Abdul Hamid Fattah, Nasy’ah al-Falsafah al-Sufiyah wa Thatawwuruha, h.
115.
0 komentar:
Posting Komentar