Tradisi Emas Pengetahuan Islam
Resentator; A. A. Yassir
“Konsepsi
intelektual Arab tentang dunia ini juga kadang disertai sejumlah bantuan
praktis yang sangat berarti. Seorang penjelajah ternama berkebangsaan Portugis,
Vasco da Gama, yang merampungkan perjalanan masyhurnya mengelilingi bagian
Selatan Afrika, Tanjung Harapan, pada tahun 1497, pergi ke India dengan panduan
sebuah peta Muslim dan bisa jadi nakhodanya juga seorang Muslim. Menurut
catatan seorang rekan Portugis sezamannya, da Gama dan awak kapalnya melihat
sekilat sebuah peta yang menggambarkan secara rinci keseluruhan garis pantai
India, “lengkap dengan banyak garis bujur dan garis lintang yang ditulis dengan
gaya bangsa Moor.” (Halaman 144-145)
Kalimat menggairahkan di atas adalah salah satu bukti yang
dipaparkan oleh Jonathan Lyons, Peneliti di Global Terrorism Research Centre
dalam buku yang berjudul The Great Bait Al-Hikmah; Kontribusi Islam
dalam Peradaban Barat dengan merujuk sebuah buku tulisan Joao de Barron
mengenai detail laporan perjalanan Vasco da Gama ke India. Sebagai seorang
korespondensi yang telah 21 tahun lebih menulis untuk Reuters, pengakuan
ini tentu menjadi bahan perbincangan menarik. Pembicaraan tradisi emas
pengetahuan Islam yang dipaparkan oleh penulis muslim sudah begitu banyak. Buku
ini menghadirkan sisi lain bagaimana ternyata tradisi barat pun
seharusnya berterima kasih kepada ilmuwan-ilmuwan muslim. “Kehadiran sains dan
filsafat Arab berhasil mengubah Barat yang terbelakang menjadi penguasa sains
dan teknologi. (Halaman 5)”
Sebagai seorang muslim, mengacu pada perkembangan sains dan
teknologi akhir-akhir ini, kita harus mengakui bahwa kiblat ilmu pengetahuan
dan sains berada di sana, bukan lagi di sini. Sudah banyak tokoh cerdik
cendikia yang diakui kapabilitasnya di tingkat dunia berasal dari daerah barat.
Terlepas dari siapa yang memberi penilaian tentang keilmuan seorang ilmuwan,
produk dan hasil penemuan mereka telah menjadi santapan masyarakat dunia. Pun
kaum muslim yang sejatinya punya tokoh dan teladan yang menjadi inspirasi para
ilmuwan-ilmuwan barat tersebut. Buku ini, hemat peresensi, bisa jadi sebagai
cambuk pedas bila dianggap sentilan terhadap kemunduran ilmu pengetahuan kaum
muslim. Namun, bisa jadi, buku ini sebagai “bahan bangga-banggaan”
belaka terhadap tradisi intelektual muslim sembari tidak berusaha untuk
mengikuti jejak mereka tapi tetap nyaman di posisi sebagai penikmat jasa para
pendahulu saja.
Terdiri dari 359 halaman, buku ini terbagi menjadi lima bagian
runtut yang diperkenalkan terlebih dahulu oleh penulisnya yang membidangi
sosiologi agama di Monash University, Melbourne, Australia. Dimulai dengan
matahari terbenam (al-Maghrib) sebagai pertanda dimulainya waktu di
timur tengah, buku ini dilanjutkan dengan senjakala (Isya) yang
menggambarkan zaman krisis pertengahan dalam dunia barat. Buku ini kemudian
menceritakan fajar (al-Fajr) yaitu zaman keemasan pembelajaran Arab
sekaligus bagaimana masyarakat barat berusaha untuk mengikutinya, yang
selanjutnya disambung dengan kejayaan timur tengah dalam bagian tengah hari (al-Zuhur)
dan bagaimana pula kaum Barat sedikit demi sedikit memanfaatkan titisan dan
kontribusi pengetahuan Islam di daerah mereka. Buku ini ditutup dengan
warna-warni sore hari (al-Asr) sebagai penanda akhir Zaman Iman di
barat, yang dibangun berkat inspirasi dan kontribusi besar dari peradaban
muslim, dan kemenangan akal yang sepertinya masih berlangsung sampai sekarang
tanpa dapat dibendung.
Seperti karya-karya terjemahan lainnya, buku berjudul asli The
House of Wisdom; How the Arabs Transformed Western yang diterbitkan versi
Indonesianya oleh Noura Books (PT. Mizan Publika) masih terkendala perihal kaku
dan kemiskinan kata-kata bahasa Indonesia untuk mewakili teks aslinya. Meski
demikian, sebagai karya tulis genre sejarah, buku ini tentu saja sudah dapat
menjadi salah satu puzzle sejarah yang melengkapi keberadaan puzzle-puzzle
lainnya sehingga menyusun runut cerita masa lalu dalam pikiran para
pembaca-pembaca buku sejarah.
Dengan demikian, sebagai penutup, tentu saja buku ini harus dibaca
bila kita mengacu pada kalimat mendorong seperti; tidak ada buku yang bagus
dan tidak bagus, melainkan buku yang sudah dibaca atau belum dibaca. Dengan
begitu, bagi yang mengamini apa yang ada di setiap halamannya, boleh jadi
menjadikannya pegangan tradisi dan sejarah. Sebaliknya, bagi mereka yang kontra
terhadap isinya, buku ini dapat dijadikan perbandingan terhadap apa yang mereka
yakini. Selamat menikmati alur sejarah tradisi emas pengetahuan Islam lewat
pembahasan ruang kebijaksanaan (bait al-Hikmah).